Mencium Kaki Ibunda: Kisah Mardi Ketuk Pintu Langit untuk Jadi Petugas Haji

By Admin

nusakini.com-Jakarta-Jika Anda menginginkan sesuatu tapi pesaing Anda puluhan ribu orang, ketuklah pintu langit dengan tindakan ekstrem. Uwais Al-Qarni dari Qaran, Yaman, pernah melakukannya lebih dari 1400 tahun lalu. Dia menggendong ibunya yang lumpuh dan buta dari Yaman menuju Makkah untuk memenuhi keinginan ibunya melaksanakan ibadah haji. Tindakannya menggegerkan bertriliun malaikat di Arsy!  

Kendati belum pernah bertemu dengan Uwais Al-Qarni, Rasulullah Muhammad SAW memberi amanat kepada Umar dan Ali radiyallahu anhumaa agar mencari pemuda Yaman ini. Rasulullah tahu dari Jibril bahwa karena ketaatannya pada sang ibu, Uwais Al-Qarni tidak lagi dianggap makhluk bumi, melainkan makhluk langit.  

Beberapa tahun setelah Nabi wafat, Umar yang saat itu telah menjadi khalifah teringat amanat Nabi. Ia bergegas pergi dari Madinah menuju Makkah hanya untuk mencari Uwais Al-Qarni. Setelah bersusah payah mencari, Umar akhirnya berhasil menemukan Uwais Al-Qurni di Makkah justru dari bekas penyakit kusta yang dideritanya. Itulah satu-satunya petunjuk yang diberikan Nabi kepada Umar dan Ali untuk menemukan penduduk surga yang berjalan di muka bumi itu.  

Salah satu petugas haji 2018 dari Aceh, Mardi Manik, mengaku belum pernah membaca kisah Uwais Al-Qarni ini. Tapi, kegigihannya dalam ‘’mengetuk pintu langit’’ untuk sekadar bisa lulus tes menjadi petugas haji tahun ini mengingatkan setiap orang pada kisah Uwais Al-Qarni dari Qaran itu. Mari ikuti kisah Mardi berikut ini untuk mengetahui mengapa setelah tiga kali gagal tes, baru di tes keempat untuk jadi petugas haji tahun 2018 ini akhirnya dia lulus:  

Mardi adalah satu dari total 4.756 petugas haji gabungan petugas dari Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan. Sudah sejak tahun 2000, lelaki kelahiran 1978 ini bermimpi bisa berdoa di depan Kabah. Saat itu dia masih menjadi pegawai honorer Kementerian Agama dengan gaji Rp 150.000 dan merangkap jadi marbot Masjid Muhammadiyah di Kabupaten Aceh Singkil dengan honor Rp 300.000 sebulan. Sering kepada Ngatiyem, perempuan asal Jawa yang dinikahinya pada 2000, Mardi bercerita ingin bersujud dan menangis di Masjid Haram, lalu menjadi orang dengan predikat haji pertama di antara empat saudaranya yang belum berhaji semua. Mardi adalah anak ketiga dari lima bersaudara.    

  Ketika diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 2007, Mardi melihat impiannya bisa meraba dinding Ka’bah bakal jadi kenyataan. Dia tahu persis bahwa calon petugas haji yang boleh ikut tes adalah PNS. Maka, setelah tujuh tahun menjadi staf Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), pada 2014 ayah tiga putera ini memberanikan diri ikut tes. Tak diduga, pada tes awal di level daerah ini Mardi lulus. Dia girang seperti terbang bersama seribu balon.  

Tapi, sesuai prosedur, semua calon petugas haji di seluruh Indonesia yang lulus tes di level daerah harus mengikuti tes level provinsi. Mereka harus menjawab soal yang tersedia dalam ‘’computer assesment test’’ (CAT). Hasil tes ini bersifat terbuka dan terukur karena hasil tes bisa diakses oleh banyak orang. Inilah yang dialami Muhammad Zakka Herry, kepala seksi haji Kankemenag Palembang yang kini menjadi petugas pembimbing ibadah haji di Sektor Enam Makkah. Dia lulus tes dengan rekor tinggi di Sumatera Selatan dan hasil tes itu dia ketahui berkat informasi Kepala Bidang Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Sumatera Selatan.  

Kembali pada kisah Mardi. Ia pun berangkat dengan suka cita dari Kabupaten Aceh Singkil ke Provinsi Banda Aceh untuk mengikuti tes level provinsi. Dia harus menempuh perjalanan berkelok-kelok sejauh 600 kilometer dengan waktu tempuh 16 jam perjalanan. Alhamdulillah, setelah ikut tes, Mardi gagal!  

Saat gagal pada tes pertama ini Mardi hanya bisa menangis dalam diam. Namanya tak tercantum di antara nama-nama petugas haji yang dipanggil ke Jakarta untuk ikut pelatihan selama 10 hari di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Saat itu dia ingin buru-buru menghambur ke dalam dekapan istrinya, mengadu dan bercerita, semoga masih ada asa buatnya di tahun depan.  

Benar saja, ketika tahun 2015 tiba, Mardi ikut tes lagi dan lulus lagi di tahap pertama. Matanya berbinar-binar ketika ia sekali lagi harus menempuh 600 kilometer perjalanan berkelok tajam antara Aceh Singkil – Banda Aceh. Ia berangkat pukul 16.00 dan sampai di tujuan esok harinya pukul 11.00. Tapi, usai ujian, Mardi gagal lagi.  

Tahun 2016 adalah tahun peruntungan buatnya. Jika kali ini tak lulus lagi di ujian provinsi, Mardi akan malu sekali kepada para rekan dan atasannya di kantor. Jatah untuk ikut tes bukan untuk dirinya saja. Ada banyak lagi rekan-rekan PNS di kantornya yang juga ingin lulus tes. Karena itu, usai lulus lagi di ujuan level kabupaten, dia pelajari betul semua pertanyaan yang mungkin keluar pada CAT tahun itu. Mardi yakin dia akan lulus tahun ini. Tak mungkin tiga kali ujian dengan soal-soal yang tak jauh berbeda dengan soal-soal di dua ujian sebelumnya dia gagal lagi. Benar saja, setelah ikut ujian di level provinsi, Mardi ternyata gagal lagi.  

Usai gagal untuk kali ketiga itu, lelaki bergelar sarjana pendidikan agama Islam ini benar-benar terpukul. Ketika namanya untuk kali ketiga tidak tercantum di antara nama-nama yang segera terbang ke Jakarta, dia merasa tubuhnya seperti tanpa tulang. Mardi sedih, letih, malu, nyaris putus asa, bahkan mulai bertanya-tanya jangan-jangan langit tertutup untuk doa-doanya. ‘’Apa dosa saya, tiga kali saya ikut tes, tiga kali saya gagal,’’ katanya saat menceritakan beratnya jalan yang harus ia tempuh hingga bisa tiba di tanah suci Makkah. Matanya berkaca-kaca ....   

Maka, di tahun 2017, dia memohon kepada atasannya untuk diberikan kesempatan lagi ikut tes calon petugas haji 2018. Dia ikut tes dan lagi-lagi lulus di tahap pertama. Tapi kali ini Mardi gamang. Dia mulai takut berangkat menuju kantor provinsi, mulai cemas jangan-jangan bukan tes itu yang tidak dia kuasai melainkan ada pintu langit yang memang harus dia ketuk agar doanya sampai ke haribaan Allah. Lelaki ini memandang langit lalu berguman, ‘’Ya Allah tunjukkan cara apa yang harus hamba lakukan untuk mengetuk pintu langit-Mu... ‘’ 

Ajaib. Seketika itu juga wajah ibunya yang sudah menua terlintas di benaknya. Wajah itu seolah memanggil-manggil dirinya, begitu teduh, sejuk, menenteramkan batin, tapi rasanya lama sekali ia tak mencium pipinya. Mardi tiba-tiba didera seribu rindu. Ia bergegas pulang lalu pamit pada istrinya untuk pergi ke Pemkot Subulussalam, tempat ibunya tinggal. Jarak antara Aceh Singkil – Subulussalam sekitar 200 kilometer, tapi ia menempuhnya dengan ringan dan bahagia. Ada energi dalam dirinya yang ia sendiri tidak tahu telah mendorongnya untuk cepat-cepat tiba di gerbang Subulussalam.  

Begitu sampai di rumah Hindun binti Khalifah, ibunya yang pernah melahirkannya pada 1978 lalu, Mardi langsung menghambur memeluknya. Ia cium tangan perempuan tua itu sambil menangis, ia cium pipinya berkali-kali, ia peluk perempuan tua itu seolah tak ingin dilepas, lalu ia bersujud dan mencium kaki ibunya dengan sepenuh hati dan sejuta maaf. Inilah pintu langit yang harus ia ketuk dan selama ini ia lupakan. Inilah pintu ridha Allah yang tertutup dan harus segera ia buka jika doa-doanya ingin sampai di gerbang raksasa Arsy Allah...  

‘’Maafkan Mardi bu, ridhoi Mardi bu...,‘’ kata Mardi dalam isak tangisnya sambil memegang kedua kaki ibunya. Ia tak mau melepas kaki ibunya sebelum perempuan yang pernah berjuang antara hidup dan mati saat melahirkannya itu memeluk dirinya.  

Semula ibunya bingung dengan kelakuan anaknya yang datang tiba-tiba itu, tapi kemudian ia segera paham. Ia balas pelukan anaknya, ia belai anaknya, ia ridhai semua kesalahan anaknya. Kedua ibu dan anak itu kemudian tenggelam dalam tangis dan peluk. Mardi kemudian bercerita tiga tahun dia ikut tes calon petugas haji, tiga tahun berturut-turut pula ia gagal. Masih dalam derai airmata ibunya kemudian berkata pendek: ‘’Tahun ini insya Allah kamu lulus, Nak.’’   

Usai melepas rindu dan memohon ridha ibunya, Mardi kembali ke Aceh Singkil. Langkahnya ringan seperti angin. Ia yakin telah mengetuk pintu langit dan menghentikan sementara tawaf para malaikat untuk memberi jalan bagi doanya sampai ke haribaan Pemilik Arsy.  

Setiba Mardi di Aceh Singkil usai kembali dari rumah ibunya, atasannya langsung berkata kepada Mardi bahwa dia rela tak pergi haji dulu asal Mardi berangkat haji. Padahal, atasannya langsung itu belum pernah pergi haji dan punya hak lebih kuat untuk ikut tes calon petugas haji ketimbang Mardi. Dia tentu heran dengan pernyataan atasannya itu tapi segera sadar, itu adalah tanda bahwa pintu langit telah berhasil ia ketuk. Allah menutup pintu bagi orang lain kecuali dirinya untuk bersujud di lantai marmer Masjid Haram.  

Benar saja, usai ikut tes di provinsi, kali ini Mardi benar-benar lulus. Saat nama-nama petugas haji 2018 asal Aceh ditempel di dinding, ia membaca namanya ada di sana: Mardi Manik!  

Cukupkah Mardi mengetuk pintu langit hanya dengan bersujud mencium kaki ibunya? Ternyata tidak. Sambil menunggu pengumuman, ternyata ia selalu merintih dalam doa-doanya kepada Allah bahwa jika lulus tes calon petugas haji, ia akan benar-benar mewakafkan dirinya untuk melayani para tamu Allah di tanah suci. Janji itu tak main-main. Sebagai petugas haji, ia harus mengantar jamaah haji asal Aceh Singkil menuju embarkasi BTJ-Aceh di Banda Aceh. Lagi-lagi ia harus menempuh 600 kilometer jalan berkelok-kelok. 

Sampai di sana, ia angkut sebanyak mungkin koper jemaah dari bus sampai embarkasi hingga pundaknya sakit. Ujian dari Allah lalu tiba. Seorang pejabat, saat melihat Mardi semangat mengangkat koper jemaah, mengajaknya minum kopi di kantin. Ia ingin memberi Mardi uang jasa tapi tak enak hati. Lalu katanya: ‘’Dik Mardi nanti tolong temui anak saya jika saya sudah masuk asrama.’’  

‘’Kenapa kamu tolak menemui anak pejabat itu, Mardi,’’ potong saya di tengah ceritanya setelah tahu dia menolak menemui anak pejabat itu. ‘’Kamu kan cuma mau dikasih hadiah, bukan gratifikasi. Hadiah kan halal, apalagi kamu sudah capek angkat koper.’’  

‘’Ah, tidaklah ustaz, jika saya temui anak pejabat itu lalu saya terima duit dari dia, itu namanya doa saya tidak dikabulkan Allah,’’ jawab Mardi cepat.  

Rupanya, melayani para tamu Allah sejak dari Indonesia hingga di Tanah Suci adalah bagian dari doa-doanya ketika Mardi merintih pada Allah agar lulus tes untuk kali keempat. Di Makkah ia ditugaskan sebagai ahli komputer yang mencatat jemaah yang datang dan pergi di Sektor Enam Makkah. 

Tapi, ketika ribuan jemaah baru berdatangan dari Madinah dengan ratusan bus, lalu mereka ditempatkan di hotel-hotel yang terpisah, kami semua ditugaskan menyambut jemaah tanpa memandang profesi dan tugas masing-masing. Saya sebagai konsultan ibadah haji, Mardi sebagai petugas informasi, dan lain-lain dengan tugas masing-masing sama sibuk menyambut jemaah.  

Suatu hari, di tengah kesibukan semua petugas menyambut jemaah dari Madinah, saya dan Mardi berdiri di depan pintu bus. Seorang lelaki tua turun dari bus dengan susah payah. Mardi dengan sigap menggendong pria tua itu dari tangga bus dan saya di bawah sudah bersiap-siap menyambutnya untuk menuntun lelaki tua itu ke hotel. Tapi, tanpa saya duga, bukannya menurunkan kakek itu ke tanah, Mardi malah melanjutkan gendongannya ke hotel berjarak 50 meter. Saya terkejut. ‘’Mau dibawa ke mana, Mardi?’’ teriak saya yang terbengong-bengong menyaksikan Mardi tidak menurunkan kakek itu ke tanah tapi terus menggendongnya sampai hotel.  

Segera saja saya abadikan tindakan heroik Mardi itu dalam rekaman video yang saya sertakan dalam catatan saya kali ini. Silakan saksikan video itu dan berdoalah usai menyaksikannya, semoga pintu langit selalu terketuk buat Mardi selama banyak orang menyaksikan video ini. Di kamar hotel, karena heran dengan tindakan Mardi tadi siang, sekali lagi saya tanya mengapa dia tak menurunkan saja lelaki tua itu di tanah karena menurut hemat saya dia masih mampu berjalan sendiri. 

  ‘’Kalau saya turunkan kakek itu dan tidak saya gendong sampai hotel, itu namanya doa saya tidak dikabulkan, ustaz. Saya sudah janji pada Allah akan melayani para jemaah sekuat tenaga saya,’’ jelas Mardi.  

Subhaanallah ....  

Saya tinggal satu kamar bersama Mardi dan Ngatu Wasno, ahli komputer dari kantor Kemenag Jakarta Selatan, selama di Makkah. Saat menulis catatan ini, Makkah menunjukkan pukul 23.30 Waktu Saudi Arabia. Seperti biasa Mardi masih berkutat di kantor sektor. Ia selalu bekerja berpasangan dengan Ngatu dari pagi sampai larut malam. Demi Allah saya menjadi saksi betapa keduanya begitu semangat bekerja, dari pagi sampai malam mencatat satu per satu kegiatan jemaah haji di sektor kami. 

  Jika semua petugas haji seperti mereka berdua, niscaya pelayanan haji Indonesia semakin baik. Tujuan haji adalah pengkhidmatan pada kemanusiaan atas nama Allah. Atas kerja keras yang mereka lakukan, sejatinya mereka sudah berhaji sebelum wukuf tiba.  

Semoga menjadi haji mabrur, Mardi. Jangan bosan mengetuk pintu langit demi tercapainya cita-cita... (Helmi Hidayat)